Kamis, 27 Januari 2011

Karanganyar

Karanganyar, 27 Januari 2011


Kekasih, yang sejenak bersamanya membuatku merasakan selamanya,

Kau pasti masih ingat, tempat yang dulu kita datangi bersama. Saat dulu aku lalui ratusan kilometer hanya untuk menjemputmu dan kembali ke tempat itu. Ah, kau pasti masih ingat. Sekarang aku sedang berada di tempat itu, setelah terakhir kali dulu aku datang bersamamu. Banyak yang berubah, ada yang tak berubah —seperti juga kita, seperti juga aku.

Kau ingat tempat kedua kau menangis di hadapanku?! aku selalu tersenyum tiap kali ingat saat itu, kau ingat?! Seharian itu kau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu, aku bisa juga tau kau mengadu pada teman di handphonemu karena ragu bicara padaku. Ah, kau lucu.. Bagaimana mungkin aku tak tau dan tak bertanya akan apa yang kau sembunyikan saat itu? namun akhirnya di teras rumah —saat kau masih duduk di sebelah kananku malam itu, kau bicara, setelah aku bertanya, setelah aku menebak akan apa yang kau rasakan. Kau tak betah, katamu. Kau menangis, kau tak katakan karena ingin menjaga perasaanku, katamu. Kini aku sangat rindu kau kembali menjaga perasaanku.

Tentu saja, perempuan kota mana yang betah tinggal di tempat seperti ini, rumah tua di tengah rerimbun tinggi pohon-pohon kelapa. Entah, adakah seseorang sepertiku, yang perasaan nyaman tak nyamannya tak bergantung di mana aku berada —tapi dengan siapa aku berada.

Tembok kotor tua tempat kita duduk berdua saat kau menangis dulu, kini sudah diubah cukup baik. Kini aku sedang duduk sendiri di tempat itu yang sudah dilapisi keramik. Tempat televisi berlayar hitam-putih berada dulu, tempatmu sempat tertidur, juga sudah diubah seperti itu. Di hadapan tempat kau duduk menjaga perasaanku malam itu, kini sudah dibangun sebuah rumah baru. Ada juga seorang anak lucu yang meninggali tempat itu. Banyak yang berubah di tempat ini, mungkin akan juga cukup nyaman bagimu walau tentu saja
jauh lebih nyaman rumahmu.

Ada tiga kucing manja yang kini tinggal di tempat ini. Bila kau masih di sini, pasti kau kembali menyamakanku dengan mereka, bukankah sering kau lakukan itu dulu?! Aku seperti kucing, katamu? Seperti juga dulu kau selalu cemburu tiap kali ada kucing di sekitarku. Aku lebih memperhatikan mereka dibanding kau, katamu? Ah, kini aku sangat rindu kau cemburu padaku.

Sepasang angsa yang salah satunya pernah mengejarmu dulu, kini masih juga berdua. Kupikir mereka akan sudah memiliki beberapa anak-anak angsa lucu yang akan mengikuti kemanapun mereka pergi, namun tidak. Entah, mungkin telur-telur mereka tak diijinkan menetas menjadi anak-anak angsa. Atau mungkin mereka adalah sepasang angsa tua yang tak lagi mampu bertelur. Entahlah, yang pasti mereka tetap seperti dulu, selalu bersama kemanapun mereka pergi
—berdua. Andai kita adalah mereka.

Udara di sini tak lagi sepanasterik dulu. Jauh lebih dingin dari terakhir kali di tempat ini kita bergantian saling mengipasi. Entah apakah karena iklimnya yang berubah, atau tubuhku yang sudah semakin melemah. Tak lagi juga kutemui nyamuk-nyamuk yang dulu pernah membuat kita berbagi lotion anti nyamuk, namun entah mengapa aku tak lagi tidur senyaman dulu saat aku masih bisa memandangimu yang sudah tertidur lebih dulu. Kau tak pernah tau seberapa lama saat itu aku memandangimu.

Hamparan luas pepadian yang dulu kau lihat hijau membentang belum tumbuh cukup tinggi, kini kuning tinggi menghampar. Entah sudah seberapa sering lahan-lahan itu ditanami dan dituai sejak kita melihatnya bersama terakhir kali. Sesekali, burung pipit
—yang matanya seperti matamu, hinggap pada dedahanan padi. Sendiri, atau berdua, mungkinkah bagi mereka sama saja?! Namun kini aku hanya sendiri, tanpa seorang yang kuajak saling bicara dalam diam dengan senyuman di tengah bahagia kebersamaan, seperti saat dulu kau ada.

Seperti juga pepadian yang dulu kita lihat bersama, mungkinkah dulu kita adalah tumbuhan padi hijau yang tumbuh belum cukup umur untuk mengenal dunia?! andai kita bisa bersama juga saat ini, saat kita jauh lebih dewasa, seperti pepadian yang kini kulihat sudah menguning cukup tua.


Ah iya, kudatangi juga pantai tempat pertama dan terakhir kalinya kau bernyanyi untukku. Masih kuingat suaramu yang.. ah, suara terindah diantara semua suara kucing yang pernah dan selalu ingin kudengar. Haha.. Kau ingat?! Masih kudengar, lagu itu.. “aku yang memikirkan, namun aku tak banyak berharap. Kau membuat waktuku, tersita dengan angan tentangmu, mencoba lupakan
—tapi ku tak bisa.. mengapa, begini..?” kau dengar?!


Kekasih, aku merindukanmu. Sangat. Aku berharap suatu saat kita kembali bersama, bila tak saat ini, mungkin suatu saat nanti. Kuharap aku masih hidup sampai saat itu tiba. Semoga.

Entah, apakah aku harus tersenyum kali ini, atau menangisi?! Sudah lama aku tak menangis, untukmu, karenamu, sama saja :’).

Aku mencintaimu, kekasih. Kuharap, kau masih mau tau.

Sabtu, 22 Januari 2011

Jawabkan Untukku

Kekasih, sebab dari setiap kata yang tersusun pada mataku,

Ada haru terjatuh dari sebuah surat yang setiap katanya meluruh menggenangi asa yang kian kisruh. Kudapati dari seorang sahabat tak kukenal yang seberapa jauh ia beradapun aku tak pernah hapal. Sungguh, surat ini mungkin lebih baik ditujukan padamu, karena sebagian besar pertanyaan di dalamnya hanya kau yang mampu menjawabnya, karena semua pertanyaan tentangku –kaupun sudah tentu selalu tau.

Bilapun kau tak lagi bisa ada untukku, maukah kau beritahu aku terlebih dahulu, mungkin sewaktu-waktu ada yang bertanya kembali padaku akan kepergianmu. Hingga aku tak hanya bisa diam dan membiarkan setiap pertanyaan yang tumbuh perlahan tenggelam. Lalu bila seseorang bertanya, mengapa kau meninggalkanku, apa yang harus kukatakan, kekasih?!

Bila kau membiarkanku menjawab semauku, mungkin aku hanya akan menjawab, karena kau mengharapkan seseorang yang jauh lebih baik dariku. Karena kau ingin mencintai seseorang yang jauh lebih pantas dicintai dariku. Karena bagaimanapun aku mau berusaha, kau tetap tak yakin aku akan cukup baik bagimu, atau kau tak mau atau tak mampu menunggu untuk itu. Mungkin semua itu yang akan kukatakan akan kepergianmu, benarkah semua alasan itu?!

Kekasih, seberapa dalamkah aku mencintaimu?! berapa kalikah aku mempertahankanmu?! Atau seberapa seringkah aku bertahan untukmu?! Aku tak pernah tau, aku tak pernah menghitungnya, mungkinkah kau mengingat semua itu?! Bilapun semua yang kulakukan selama mencintaimu kau anggap sebuah cinta picisan, sungguh aku tak terlalu peduli. Bilapun aku dan kau tak pernah tau seberapa jauh sesungguhnya aku mencintaimu, aku tak juga terlalu peduli. Aku tak peduli apapun yang kau atau siapapun katakan akan apa yang padamu aku rasakan. Selama aku percaya bahwa aku mencintaimu.

Sungguh semua yang kutulis tentangmu hanyalah menjadi sebatas kata, kata-kata yang bagiku sedikitpun tak bermakna bila di matamu mereka tak bermuara. Adakah seseorang yang menyimpan tabungan berharganya untuk akhirnya dibuang begitu saja?! Kuungkapjelaskan setiap rasa, kusimpanpejamkan setiap luka, mungkin suatu saat kau menemukannya dan mengetahui banyak keadaanku yang jauh sudah dengan terpaksa ditinggalkanmu. Dan saat kau terpaksa tau semua, kuharap aku pun untukmu masih ada.


Kali ini entah mengapa karena sebuah surat yang ditujukan padaku aku merasa sangat berharga, tidakkah mau kau menganggap semua yang kutulis untukmu adalah juga
sebuah bentuk surat, kekasih?! bukankah sudah kukatakan aku tak ingin berhenti membuatmu begitu berharga bagiku?!

Mungkinkah suatu saat aku bisa mendapat sebuah surat sederhana yang cukup indah darimu –yang membuatku kembali merasa begitu berharga, walau tak seindah surat dari sahabatku ini.

Karena aku tau kau tak begitu suka menulis hal semacam ini, kekasih. Karena mungkin bagimu, semua ini tak terlalu berguna. Seperti juga semua tulisanku, begitu?!

Rabu, 19 Januari 2011

Lupakah Kita?!

Kekasih, apakah kau juga merasakan, sepertinya dulu banyak hal –yang entah karena lupa, atau memang belum sempat, hingga tidak saling kita ungkapkan. Mungkin karena dulu kita terlalu bahagia bersama menikmati waktu yang hanya saat itu, atau entah apa yang membuat kita tak sedikitpun terpikir untuk mengatakan semua ini, dulu.

Namun tak adamu kini membuatku tersadar, bahwa dulu banyak sekali hal penting yang sebenarnya ingin sekali saling kita ucapkan, dan mungkin kini kita hanya bisa berangan agar semua ini pernah sekali saja terucapkan saat dulu kita masih bahagia bersama.

Kekasih, aku tersadar, dulu kau pasti lupa mengatakan bahwa untuk mencintaimu, aku harus mampu sendiri.

Kau juga pasti lupa mengatakan, bahwa untuk mencintaimu aku harus merasakan sesaksempitnya diburu rindu yang tak berkesudahan.

Kau juga lupa mengatakan bahwa untuk mencintaimu aku harus menerima untuk mengubah kembali harapan yang terlanjur mengawan agar kembali menjadi angan.

Kau juga tak pernah mengatakan bahwa untuk mencintaimu aku harus merasakan jatuh, luruh, perih, pedih, sakit, pahit, semua yang tak ingin sekalipun kubuat kau merasakan.

Seingatku, kau juga tak pernah sekalipun mengatakan, bahwa untuk mencintaimu aku harus rela tak mendapat balas cinta darimu.

Namun kekasih, andaipun pernah kau katakan semua itu saat dulu, kupikir tetap tak akan mengubah kenyataan bahwa aku tak ingin sekalipun berhenti mencintaimu.


Dan maaf, mungkin dulu aku juga lupa mengatakan padamu, bahwa suatu saat kau akan merasa tak nyaman karena aku terus mencintaimu saat tak lagi kau inginkan.

Kau juga dulu pasti tak pernah mendengar dariku, bahwa suatu saat aku akan membuatmu tak tenang karena aku tetap bertahan saat tak lagi kau harapkan.

Aku juga mungkin lupa mengatakan, bahwa aku akan membuatmu merasa bersalah bila suatu saat kau terpaksa memilih untuk pergi dan aku akhirnya memilih untuk sendiri.

Seingatku aku tak juga pernah mengatakan, bahwa suatu saat aku akan tetap membuatmu sangat berharga saat kau menemukan yang bagimu jauh lebih berharga.

Dan bilapun dulu telingamu pernah mendengar semua itu dari bibirku –tak juga mengubah keputusan kepergianmu, tak juga akan mengubah semua yang aku katakan kepadamu.

Kau tau hatiku lebih keras dari kepalaku sendiri, kau selalu tau.

Senin, 17 Januari 2011

Cinta Mati

Bila cinta bisa mati, biar kujadikan hati sebagai makamnya. Agar tetap ia tersimpan di dalamnya, agar selama hidup aku mudah mengunjunginya.

Dan bila suatu saat kau kembali datang sekedar berkunjung ke dalam hatiku, akan kau temui seorang tua duduk tertawa di sebelah pusara.

Kau akan juga dapati, hatiku tempat tenang, sepi, sunyi -tempat terindah dan ternyaman bagi seorang tua yang hanya tinggal menunggu mati.

Bila memang cinta bisa mati, akan kubuat itu yang suatu saat akan terjadi. Maukah kau kunjungi sesekali, kekasih?!