Senin, 18 April 2011

Andai Waktu

Andai hari saat terakhirkali kau mencintaiku dapat berulang berkali-kali, tanpa henti. Hari yang aku tak tau kapan itu terjadi. Aku tak keberatan cintamu padaku berakhir berkali-kali.

Andai saat kita masih bersama, saling bertatap mata ~saling bercermin senyum, waktu terhenti untuk selamanya. Akan terlihat indah.

Mengapa waktu tak berjalan lebih lambat saat kita bersama, dan berjalan lebih cepat saat kita tak bersama?! Mengapa terasa sebaliknya?!

Andai hari saat terakhirkali kita bertemu dapat berulang berkali-kali, tanpa henti. Apa yang kau rasa padaku saat itu, aku tak peduli.

Bukan kau, sehausnya aku yang bertanya, mengapa aku berulangkali jatuh padamu, kekasih?!

Jumat, 15 April 2011

Setelah Kau Pergi

Dalam kesendirian masing-masing kita saling berkata,
“jadi salahkah aku yang hanya mengikuti apa kata hatiku?!”

Lalu kita sama-sama terhenti pada jawaban yang sudah kita tau sendiri,
yang mampu menyakiti, sampai akhirnya tak dipikirkan lagi.

Lalu entah aku atau kau atau kita, dengan ragu berkata pada diri sendiri,
“patah hatimu itu, kau sendiri yang menyebabkannya”

Lalu kita saling diam, seolah-olah tak lagi ada yang tetap berhubungan.
Sementara tiap saling mengingat, sesak menyeruak dalam dada.

Masihkah kau bertanya mengapa?!

Rabu, 13 April 2011

Bilakah Lupa?!

Ajarkan aku cara mengingatmu tanpa rasa sesak dalam dada, kau bisa?!

Namun bila karena sesuatu kepalaku tak lagi mampu untuk mengingat apapun itu, bagaimana caraku untuk kembali mengingatmu?!
Mungkinkah ada hal yang lebih kuat dari waktu menghapus semua ingatanku akanku, akanmu akan semua kenang hidupku. Bila itu terjadi, bagaimana caraku bahagia?!

Kini aku tak lagi cukup ingat rasanya tersenyum dan tertawa bersamamu. Aku khawatir waktu akan menghapus habis semua rasa itu.
Aku tak tau apakah waktu akan membuatku lupa. Bila waktu mampu membuatku tak mengenal siapa diriku, maka waktu akan mampu membuatku melupakanmu.
Bila kita tak pernah sekalipun bertemu dalam waktu, aku tak akan sekalipun mengingatmu. Dan aku bukan diriku yang kini sangat aku tau.

Aku tak ingin melupakanmu. Malam ini kau membuatku takut, sesuatu membuatku tak lagi mampu mengingat siapa diriku, terlebih lagi dirimu.
Kuharap aku sempat mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu. Sebelum aku tak lagi mampu untuk sekedar mengingatmu.

Senin, 11 April 2011

Di Ujung Senja Nanti

Sore tadi, aku terhenti di tepi sebuah jalan yang masih sibuk dengan urusan manusia. Saat rinai gerimis membias cahaya matahari, membentuk pelangi. Waktu seakan sengaja memperlambat langkahnya, mempertemukan mataku dengan pelangi yang perlahan terkikis merah langit senja. Sejenak, aku tak peduli bagaimana dunia.

Malam ini kurebahkan tubuh lelahku, pejamkan mata, tak ada yang kulihat selain hitam. Telingaku hanya penuh dengan lirih nyanyian hujan yang menenggelamkan.

Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku, kubayangkan kau yang sedang mencintaiku, dan aku yang mungkin juga mencintaimu, sedang saling tersenyum berbagi tawa.

Lalu kubayangkan, karena suatu sebab, kecelakaan atau entah apa, kau yang mungkin kucintai harus kehilangan kedua matamu. Tak ada yang dapat kau lihat selain hitam, selain kelam. Tidak juga aku. Maka tak ada lagi saling tersenyum, tak ada lagi saling tawa, yang ada hanyalah aku yang sesekali melihatmu tersenyum, melihatmu tertawa.

Dan entah karena apa, kuputuskan memberikan kedua mataku untukmu. Lalu dengan sebuah operasi yang entah bagaimana, kedua mataku terpasang di rongga matamu. Maka aku tak lagi dapat melihat apa selain hitam, selain kelam.

Perlahan, kau yang mungkin kucintai dapat kembali melihat dunia, dengan kedua mataku, sampai kapanpun kau mau atau hingga kau tak lagi mampu. Suatu sore kau dapat melihat pelangi, kau dapat melihat senja, atau kau dapat juga terus melihatku yang tak lagi mampu untuk melihatmu atau sesuatupun itu.
Bila kau mau

Minggu, 03 April 2011

Entah Saja

ia duduk, entah terbaring
atau berdiri, apakah penting?!

sebuah bus terhenti.
“bukan, itu bukan bus ku”
di halte ia kembali sendiri

ia bicara pada tiang listrik di sampingnya,
atau tiang listrik yang berbicara pada ia,
atau mungkin mereka tak saling bicara
entah bagaimana

sebuah bus terhenti.
“entah, nanti saja, aku masih betah”
di halte ia kembali sendiri

ia mendengar senja bernyanyi
atau senja yang mendengar ia menyanyi
atau mungkin keduanya diam dan hanya ada sepi
entah, tak mengerti

sebuah bus terhenti.
“jalan saja, aku di sini saja”
di halte ia kembali sendiri

ia mencoba menulis sebuah sajak,
atau sebuah sajak mencoba menulis ia,
terserah saja

ia menangis bagai seorang anak merengek pulang
meratap tak henti menjerit merasa sedang hilang
tersesat lama dalam sajaknya sendiri,
sial kau, sajak! bahkan kau bukan sajak!
penipu!
aku hanya ingin pulang menuju hatinya,
tak bisakah kau gambarkan?!