Jumat, 31 Desember 2010

31 Desember 2010

Awal bulan Januari kemarin, aku masih merasa menjadi seorang yang paling bahagia di dunia. Akhir bulan Desember ini, aku seorang bahagia yang aku tak lagi peduli bagaimana seharusnya merasa bahagia. Semua keadaan, kini, bagiku baik-baik saja, kekasih.

Tahun ini berakhir, seperti juga banyak hal lain dalam tahun ini berakhir. Setiap akhir meninggalkan sesuatu; entah kebahagiaan, kenelangsaan, senang, kenang, sesal, kesal, sedih, pedih, dan banyak hal lain yang mungkin hanya tertinggal atau tertanggal. Banyak akhir yang juga kita berdua alami tahun ini, bukan?! Setiap awal akan merasakan akhir, namun awal yang sama dirasakan setiap orang tak juga berarti memiliki akhir yang sama selain kenang.

Mungkin menjadi salah satu tugas waktu untuk mengubah banyak sesuatu, begitu juga yang mungkin terjadi padamu, atau padaku. Entah apa mungkin suatu saat waktu akan juga membuat kita saling mengerti perubahan pada masing-masing kita. Atau memang waktu tak lagi memiliki haknya atas itu.

Bulan demi bulan sejak kau berpaling (atau berpulang?) dariku berlalu dan tak membawaku kemana selain pada hari-hari penuh rindu yang membara (entah memburu). Andai bisa jumlah bulan dalam setahun bertambah satu, hingga aku bisa gunakan yang satu itu untuk tak memikirkanmu.


Aku tak berubah, aku hanya mengenal diriku sendiri lebih jauh. Aku masih diriku yang dulu, kekasih. Ia yang sejak pertama dekat denganmu dulu mencintaimu, dan terlebih lagi sekarang. Kini sungguh, dalam hari-hariku aku tak berharap menjadi orang lain hanya agar kau cintai. Aku tak berharap menjadi ia yang bersamamu saat ini, aku tak juga berharap menjadi seorang presiden agar dapat kau banggakan dan cintai, atau siapapun itu yang mungkin cukup pantas untuk kau cintai.

Pun aku tak mengharap menjadi seorang ulama dunia yang paling mengerti agama. Bila memang aku bisa menjadi sesuatu selain diriku, aku sangat berharap bisa menjadi anjing yang dulu pernah mengikuti para pemuda ashabulkahfi kemanapun mereka pergi. Sungguh aku sangat jauh dari pantas untuk itu.


Dengan diriku ini, aku mencintaimu,
kekasih.

Minggu, 26 Desember 2010

26 Desember 2010

Kekasihku yang aku hanya ingin putus asa bila bersamanya,


Hari ini kutemukan dengan sengaja salah satu teman kita yang, kupikir sudah begitu putus asa, hingga ia memutuskan untuk menikah.

Di pelaminan ia berdampingan dengan kekasihnya yang duduk tersenyum di sebelahnya (juga pasti dalam hatinya), bersama-sama mereka saling putus asa hingga mereka memutuskan untuk menikah dan hidup bersama. Bukankah sebagian besar pernikahan yang membahagiakan memanglah untuk mereka yang menikah karena putus asa dan menyerah?! Mereka yang sudah putus asa dan sama-sama menyerah berusaha mencari ketidakcocokan diantara mereka. Mereka yang sudah sama-sama putus asa dan menyerah untuk saling mencari seseorang yang lebih baik dari masing-masing mereka. Putus asa dan menyerah mencari alasan mengapa harus tidak menjalani hidup bersama.

Sungguh bagiku sebuah pernikahan akan lebih membahagiakan bila sepasang kekasih sudah merasa putus asa dan saling menyerah terhadap sesamanya. Terlebih lagi terhadap Tuhan, haruskah ditakuti kehidupan yang akan dijalani setelah pernikahan?! Bagiku hal terpenting yang perlu dikhawatirkan dalam sebuah pernikahan adalah, dengan siapa akan menjalani hidup hingga nanti uban-uban mulai tumbuh subur di ubun-ubun.


Hari ini aku bertemu teman kita yang lebih dulu menikah dan mulai menjalani hidup bersama dengan kekasihnya, semoga hingga hari terakhir hidupnya.
Entah, apa mungkin aku akan selalu iri setiap menghadiri pernikahan seperti ini.

Selasa, 21 Desember 2010

21 Desember 2010

Kekasihku yang tak henti kurindukan dalam hari-hariku,


Hari ini, aku membayangkan sedang berada di sisi sebuah pantai, melukis sesuatu. Kau, tentu saja akan selalu ada di dalam lukisanku.

Kulukis ombak yang seperti dirimu, yang berulangkali mendebur kencang mendebar hatiku yang seperti karang; berlubang-lubang, yang mungkin hanya cukup indah untuk dilihat oleh seekor ikan yang berenang senang dalam bening air matanya sendiri pada sebuah akuarium, ikan langka yang pernah ditemukan seorang penyair dan disimpan indah dalam salah satu sajaknya.

Lalu kulukis pasir pantai yang seperti bayangmu, yang selalu bisa mendesir lembut mendesar perlahan penatku yang seperti sunyi; sepi sendiri, yang mungkin hanya cukup ramai untuk dirasakan oleh seekor serigala pertama di dunia bermata buta, yang sedikitpun tak dapat melihat keberadaan bulan purnama.

Kulukis senja langit jingga yang seperti pergimu, yang meninggalkan seluruh menanggalkan asaku yang seperti siang; dapatkah kau bayangkan, siang yang tak lagi diinginkan cahaya matahari.

Kulukis burung camar yang seperti hadirmu, yang menghapushilangkan cemas, gundah, sesak penantianku yang seperti sarang camar dan bayinya; bagai merasa dunia kembali berudara dan aku kembali dapat menghirupnya.

Kulukis semua yang kulihat, yang dirimu. Kulukis dirimu, semua yang kulihat.


Hari ini, seperti juga hari-hariku lainnya, aku sungguh merindukanmu,
Kekasih.

Senin, 20 Desember 2010

20 Desember 2010

Kekasihku yang aku tak akan pernah mati dengan sengaja saat mencintainya,


Kemarin aku mendengar kabar tentang seseorang yang, entah benar atau tidak, sudah menjadi terlalu takut untuk hidup.

Aku seringkali bercanda dengan diriku sendiri dengan mengatakan, “Bila kau takut hidup, matilah. Bila kau takut mati, hiduplah.”. Kesulitan, kesedihan, rasa sakit -- kehilangan, kekecewaan, merasa sempit, tidakkah terjadi dalam hidup?! Perlukah ditakuti apa yang Tuhan kehendaki terjadi?! Bila takut, matilah.

Namun bagaimanapun ini hanya candaan, bila memang hanya dianggap begitu. Namun juga bisa memiliki beberapa arti yang berbeda pada masing-masingnya, bila mau membuang waktu untuk menggunakan pikiran.


Dan tentangku, sapaan awalku di atas sudah dapat menjelaskan banyak, bukan?!

Minggu, 19 Desember 2010

19 Desember 2010

Kekasihku yang suatu saat aku ingin menonton pertandingan bola (walau aku tak pernah suka) dengannya,


Aku membayangkan memiliki sebuah mobil baru yang biasa saja. Kugunakan mobil itu dalam sebuah perjalanan panjang menuju suatu tempat, yang pasti nantinya di tempat itu aku akan merayakan ketibaanku dengan tertawa-tawa, makan dan minum sesukanya penuh kegembiraan dan kebanggaan.

Maka mulai berjalanlah mobil itu dengan aku di dalamnya dari tempat pemberangkatanku. Pada awal pemberangkatan mobil itu berjalan baik sekali, semua bagian pada mobil itu bekerja sesuai fungsinya dengan sangat sempurna, seakan semua bagiannya adalah pilihan-pilihan terbaik yang tanpa cacat. Pada jalanan berlubang dan tak rata, aku yang duduk di dalamnya tak merasakannya. Pada tanjakan yang menyesakkan, aku yang di dalamnya dibawa bagai kapas yang ringan. Pada turunan yang mengkhawatirkan, aku yang di dalamnya nyaman tanpa takut digelincirkan.

Pada pemberhentian pertama, sebut saja sejenak beristirahat, aku bertemu banyak pemilik mobil lain dan membicarakan dengan bangga mobil yang kugunakan. Kuceritakan tentang ban mobil yang, sungguh, anti selip. Kuceritakan tenaga mesin mobil yang, wah, sangat kuat. Kuceritakan juga beberapa bagian lainnya yang akan membuatku bangga sebagai pemiliknya. Maka pada perjalanan pertama kesan yang diberikan mobil itu membuatku mulai lebih mencintainya dan yakin akan sampai dengan mudah pada tujuan.

Perjalanan dilanjutkan, jalanan yang dilalui lebih rusak dari sebelumnya, tanjakan yang menantang lebih tajam dari sebelumnya, turunan yang mengancam lebih curam dan licin dari sebelumnya. Namun mobil itu masih saja dapat membawaku dengan, walau agak kesulitan, tetap kuanggap sebagai perjalanan yang membanggakan. Kembali aku membicarakan mobilku pada pemberhentian berikutnya dengan lebih semarak pada pemilik mobil lainnya, aku semakin bangga dan semakin mencintai mobilku karena ia bekerja cukup sesuai dengan keinginanku. Maka aku yakinkan, mobil ini pantas kubanggakan dan dapat membawaku sampai pada tujuan.


Baiklah, itu hanya bayanganku bila memang kondisi mobilku seperti itu.

Kini kubayangkan, pada awal keberangkatan mobil itu sudah mengalami beberapa masalah. Di perjalanan, ban mobil itu bocor, aku harus berhenti dan menggantinya. Lalu mobil itu mogok pada sebuah tanjakan, aku harus turun dan mendorongnya. Mobil itupun membuatku harus menjalankannya dengan sangat berhati-hati menuruni turunan yang cukup curam. Mobil itu akhirnya membawaku pada pemberhentian pertama walau membutuhkan waktu cukup lama. Maka kupikir, entah apa aku akan membicarakan mobilku seperti caraku membicarakannya pada kondisi sebelumnya. Entah apa aku perlu membanggakan mobilku seperti pada kondisi sebelumnya. Apa aku harus juga seyakin pada kondisi sebelumnya bahwa mobil itu akan membawaku dengan mudah (atau susah) pada tujuan?!

Atau mungkin lebih baik kutinggalkan saja mobil itu pada pemberhentian pertama, dan menumpang pada mobil lain yang kondisinya terlihat cukup meyakinkan untuk membawaku sampai pada tujuan?!


Bukankah jauh lebih mudah mencintai dan mendukung sesuatu yang kondisinya (memang) sesuai dengan apa yang dimau?! Namun bagaimanapun keras suatu usaha, Tuhan tidak menjalankan semua hal menurut apa yang manusia inginkan, bukan?!

Sabtu, 18 Desember 2010

18 Desember 2010

Kekasihku yang aku tak pernah berhenti menjadikannya begitu berharga,


Terkadang aku ingin memiliki kemampuan berenang dan menyelam di lautan, bukan hanya mengenang dan tenggelam dalam pikiran.

Sebelum aku bisa, maka aku hanya membayangkan sedang menyelam dan menikmati betapa indahnya kehidupan di bawah lautan sana. Seperti juga sering kulihat di kotak televisi yang kecil namun bisa juga menampung lautan yang begitu luasnya.

Kehidupan di dasar lautan sana begitu indah, tentu saja, mungkin karena tak setiap hari aku melihatnya. Bila sejak dulu aku hidup dan tinggal di dalam lautan, mungkin apa yang kulihat hanya akan menjadi hal-hal biasa yang tak terlalu menakjubkan, dan aku akan berharap dapat berjalan di daratan atau terbang di awan untuk menikmati betapa indahnya kehidupan di permukaan. Namun bila keindahan sesuatu begitu dipengaruhi pada sesering apa melihatnya, tidakkah semua akan tampak selalu begitu indah bagi seorang buta?!

Aku membayangkan diriku sedang berenang jauh dalam di dasar lautan. Kulihat banyak hal yang tak dapat kusentuh langsung saat di daratan. Rumput laut, anemone, ikan-ikan berwarna-warni, koral-koral yang berpenghuni, bintang laut, tiram yang terlihat kusam, dan banyak penghuni laut lain yang jarang sekali kulihat keindahannya dalam keseharianku biasanya.

Bila di dalam sana aku boleh mengambil sesuatu, mengapa aku harus merasa bingung memilih antara ikan-ikan berwarna-warni yang terlihat indah, anemone yang juga terlihat begitu indah, rumput laut yang juga terlihat bergerak dengan indahnya, hal-hal yang terlihat cukup indah lainnya, atau tiram kusam yang di dalamnya tersimpan mutiara?!


Ada saatnya, keindahan sesuatu lebih terasa bila memiliki keberanian untuk melihatnya tanpa mata.
Mengapa aku harus takut dan merasa sulit menilai apa yang bagiku berharga?!

Jumat, 17 Desember 2010

17 Desember 2010

Kekasihku yang aku ingin hidup sendiri bersamanya di bumi ini,


Kubayangkan seorang anak yang secara tak sengaja tertinggal di sebuah pulau kecil terpencil dalam sebuah wisata yang diikuti milyaran orang menggunakan kapal pesiar besar dengan panjang tak kurang dari 40.000 Km.

Anak itu terpisah dari kerumun banyak orang yang biasanya ada di sekitarnya, hingga ia mulai merasa khawatir menjalani hidupnya nanti dalam kesendirian.

Sebelumnya ia tak pernah khawatir untuk bertanya bila tak tau atau tak yakin akan sesuatu, karena akan selalu ada orang lain untuk ditanyakan dan mendapatkan jawaban dari mereka. Namun kini, entah ia harus bertanya pada siapa selain dirinya sendiri.

Sebelumnya ia selalu dapat meminta pendapat akan sesuatu, karena akan selalu ada orang lain untuk dimintainya pendapat akan itu. Namun kini, entah ia harus meminta pendapat pada siapa selain dirinya sendiri.

Sebelumnya ia selalu bisa mendapatkan bantuan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang ia rasa tidak mampu. Namun kini, mau tidak mau ia hanya bisa meminta bantuan pada dirinya sendiri.

Sebelumnyapun banyak hal sikap tingkah polah berbeda yang ia lihat dari banyak orang lainnya yang juga mempengaruhinya dan dapat ia tiru. Namun kini, entah ia perlu terpengaruh atau harus meniru siapa selain dirinya sendiri.

Banyak hal lain sebelumnya yang membuat ia terlihat bergantung pada orang lain yang kini terpaksa tergantung pada dirinya sendiri, karena di pulau terpencil itu ia memang hidup sendiri.

Maka begitulah ia terpaksa menjalani hari demi hari yang berlalu, dengan pikirannya sendiri, pendapatnya sendiri, keputusannya sendiri, tingkah polahnya sendiri, usahanya sendiri, semua terpaksa ia lakukan sendiri. Semakin sering kesendirian membuat ia terpaksa bicara dengan dirinya sendiri, semakin ia mengenal akan dirinya sendiri.


Lalu suatu hari kapal pesiar besar itu kembali ke pulau terpencil yang ia tinggali. Teman-teman bermainnya, yang selama ia sendiri -- tetap dapat tinggal dalam kerumunan, yang membuat mereka tak perlu merasakan apa yang harus ia rasakan saat berada di pulau terpencil seorang diri, mendapatinya hidup sebagai seorang dewasa.