Sabtu, 11 Desember 2010

11 Desember 2010

Kekasihku yang aku ingin mengerti akan hidup bersamanya,


Dalam usiaku ini yang entah mungkin benar sudah mulai tercukupi atas bagianku untuk kujalani; kusaksikan banyak mereka yang terlahir, bertumbuh, berkembang dan lalu habis waktu singgahnya di dunia.

Ini salah satu tentang ia; terlahir atas dua cahaya yang bahagia, air mata dua hati yang bukan luka. Bermulainya ada satu karena dua yang dapat disenyumi saat ia menangis ataupun tertawa, saat menenangkan ataupun merepotkan. Satu yang mereka berdua dapat mulai sebut bersama sebagai anak mereka. Benarkah seorang anak dimiliki orangtuanya?!

Betapa bahagia sang anak yang berada dalam dekap rengkuh kedua orangtuanya, tempat ternyaman yang ada saat pertamakali dilahirkan ke dunia.

Lalu waktu yang pemurah mengajarkan anak itu untuk bicara, semua yang dirasakannya, semua yang dialaminya. Suatu hari ia bercerita pada ibunya akan betapa senangnya ia bermain layang-layang di sebuah lapang, atau betapa gembiranya bermain tanah di ladang. Hari yang lain ia mengadu merengut pada ayahnya bercerita akan teman bermain yang memamerkan robot-robotan barunya, atau tentang cerita temannya yang baru saja berwisata ke luar kota. Namun tak lama dari itu ia akan lupa dan kembali tertawa juga.

Pernahkah kau perhatikan bagaimana seorang anak merasa?! menangis, tertawa, marah, sedih, kesal, ceria, tak ada yang merasa perlu ditutupinya. Bertanyalah kau pada seorang anak tentang apa yang dipikirkannya, sesuatu yang aneh bila ia tak menjawab hal-hal yang sederhana. Kejujuran mana yang lebih lugu dari ucapan seorang anak akan apa yang dipikirkannya?! Kebahagiaan mana yang lebih sederhana dari gembiranya seorang anak akan apapun yang didapatkan dan dialaminya?!

Masa kanak-kanak, seharusnya, adalah masa paling indah, bukan?!


Lalu waktu yang juga pemaruh membagi masa hidup anak itu menjadi dua dengan remaja, saat ia mulai dibekali (atau dijejali?) banyak hal untuk menghadapi hidup yang sebenarnya saat dewasa. Di rumah ia mulai dikenalkan akan tujuan, tentang semua tindak yang harus digerbangi dengan alasan, semua rasa yang perlu dilegalkan dengan pikiran.

Di sekolah ia mulai diajari untuk menghindari apa yang tidak perlu dilakukan, menjauhi apa yang tidak pantas dirasakan, agar ia tumbuh menjadi seorang dewasa seperti mereka yang mengajarkan (siapa yang sebenarnya mengajarkan?).
Bingunglah ia dalam masa perubahan dari seorang anak menjadi dewasa, banyak hal sederhana yang merasa harus ditinggalkan untuk banyak hal lebih rumit yang perlu dipikirkan.

Masa remaja, sepertinya, adalah masa paling membingungkan, bukan?!


Kemudian jauh dari itu waktu yang juga pemarah terpaksa menjadikan ia dewasa. Ia harus mulai bicara pada pikirannya sendiri akan banyak hal; masa depan (yang) bahagia, hidup (yang) nyaman, sebuah pekerjaan (yang) layak, seorang pasangan (yang) baik, dan banyak (yang) lainnya yang tumbuh semakin subur hingga membuatnya tak pernah cukup untuk memikirkannya.

Masa dewasa, benarkah, masa paling menyulitkan?!



Mungkin memang seperti itulah waktu harus berjalan mengikuti cetak biru yang tertanam pada diri kebanyakan manusia, seruntunan hal yang mungkin memang, serangkaian kisah berbeda yang sama saja, sebuah cerita misteri yang sudah diceritakan berulangkali.

Lalu beberapa merasa waktu hidupnya beresensi, lupa bahwa yang lain merasa juga hal yang sama, tak sadar bahwa bukan yang-merasa yang pantas menentukan nilai sebuah esensi.




Sering aku berandai menjadi ia yang saat ini kuceritakan, dan bila dapat memilih pada waktu, aku lebih berharap terus menjadi seorang anak kecil dalam seumur hidupku. Saat semua hal dapat begitu mudah untuk dimengerti. Saat semua yang terasa begitu jelas untuk dipahami. Saat tak memerlukan banyak sebab untuk dimaklumi. Saat tak membutuhkan banyak alasan untuk dipikirkan.

Ia yang kuceritakan itu, tidakkah kau juga mengenalnya?!
Lihatlah, terkadang orang menamainya: Cinta

(…bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar