Jumat, 29 Oktober 2010

Tiga Pesan Untuk Kau Mengerti

1# Baiklah, aku berhenti mencintaimu. Kuakhiri awal dahulu dengan sebuah awal baru yang denganku pernah kau akhiri lebih dulu.

2# Kau pikir aku tak bisa?! Bahkan aku akan membencimu. Membencimu itu mudah, aku hanya perlu mencintai diriku sendiri.

3# Dan kini aku akan mulai membencimu, tak akan terhenti walau kau akhirnya lelah mencintai dirimu sendiri.

4# Dengan seluruh penuh hatiku, sepenuh luruh jiwaku, hingga tak ada setitik detikpun kosong tersisa.

5# Mencintaimu tanpa sedikitpun pedulimu bagaikan setiap hari turun dari gunung memasukkan asam ke lautan untuk membuatnya berasa masam.

6# Sungguh, aku mulai merasa percuma mencintaimu dengan cuma-cuma. Aku muak mencintaimu sedang kau hanya mengelak dari itu.

7# Aku bosan mencintaimu dengan terlalu sedang kau akhirnya hanya berlalu. Cintai juga aku lebih dari aku yang mencintaimu berlebih.

8# Begitu bila aku memang harus mencintaimu. Tak ada cara lain, tak bisa sedikitpun kau tawar meski kau akan mampu membuat air laut tawar.

9# Terlambat bila kini kau berubah pikiran walau kupikir cinta tak perlu dipikirkan. Tidak lagi aku akan berpikir untuk mencintaimu tanpa pikir.

10# Mulai kini kau akan tau rasaku yang tak lagi dicintaimu, bagai jatuh cinta untuk terakhir kalinya dan tak lagi ada kali yang lainnya.

11# Maka menyesallah bila kau kembali mencintaiku, akan sia-sia seperti semua rasaku sebelumnya. Kau tau hatiku selalu lebih keras dari kepalamu.

12# Hatiku sudah membatu. Seperti apapun hatimu akan berkata padaku, apa kau pikir aku cukup peduli hingga akan mengubah sesuatu?!


Kau sudah tau, aku tak suka angka tiga. Dalam catatan yang penuh sengaja kutulis dan mungkin suatu saat akan kau baca tanpa sengaja ini bukan tak sengaja kutuliskan angka. Kutulis agar kau tau, sejak awal tulisan, tiap tiga hal yang tak pernah kusukai dan tak akan pernah terjadi, kusisipkan satu hal yang nyata. Mengertilah tiga yang itu saja, kekasih.

Senin, 25 Oktober 2010

Bingkai Hujan Untukmu

Sore ini aku terdiam di tepi jendela, memperhatikan kelopak-kelopak hujan jatuh berguguran dengan rela. Angin yang sibuk menjatuhkannya sesekali menampar pipiku dengan satu dua kelopak hujan itu, mengingatkanku agar tak terlalu terhanyut dalam kenangan akanmu. Masa lalu, katanya.

Kuperhatikan kelopak-kelopak indah yang jatuh berhamburan, sayang sekali bila hanya dibiarkan percuma berserakan. Terpikir dalam riuh bisuku untuk mengumpulkan banyak kelopaknya, mungkin nanti malam saat aku tak dapat tidur seperti biasanya, kelopak itu dapat kubuat menjadi sebuah hiasan. Menyibukkan diriku dengan hal lain, agar malam ini aku tak perlu sibuk memikirkanmu.

Lalu aku mulai bingung hiasan apa yang dapat dibuat dari kelopak hujan bila malam.

Sebenarnya aku ingin membuat pigura warna-warni dari kelopak hujan itu, agar nanti bisa kubuat fotomu yang sekarang masih saja terpasung di hatiku terpasang di pigura itu, untuk nanti kusimpan di meja kamarku. Dengan begitu aku tak perlu membawa-bawa fotomu kemanapun aku pergi, jadi nanti aku hanya akan dapat melihat wajahmu saat berada di kamarku, dan di luar itu aku dapat melihat wajah mungkin seorang atau dua orang lainnya.

Tapi mungkin sulit membuatnya berwarna-warni bila tanpa pewarna matahari, bisakah kubuat berwarna bila dengan cahaya bulan saja?! Aku tak mau bila harus membingkai fotomu dengan pigura biasa tanpa warna, bila memang harus kubingkai fotomu, harus dengan pigura indah penuh warna. Harus begitu. Tapi bisakah aku membuat kelopak hujan itu berwarna-warni bila tanpa pewarna matahari?!

Setelah berpikir lama-lama, aku tak menemukan cara untuk mewarnai kelopak hujan itu malam nanti. Mungkin aku harus membuat sesuatu yang lain darinya, bukan sebuah pigura. Bagaimana bila kubuat saja kelopak hujan itu menjadi sebuah cawan, tak perlu berwarna, tapi pasti tetap dapat berguna. Nanti, sesekali cawan hujan itu dapat kupakai untuk menampung air mata yang terkadang terjatuh tanpa sengaja saat aku memandangi fotomu sambil erat menutup mata. Ah, aku lupa, walau memang tak ada jatuh yang sengaja tapi aku tak lagi mau menjatuhkan air mata karenamu, bila sendiri.

Aku kembali berpikir lama-lama, apa yang bisa kubuat dari kelopak hujan itu nanti malam, agar bisa kubuat sesuatu dengan fotomu yang masih saja terpasung di hatiku.


Ah, aku berpikir terlalu lama. Sekarang kelopak-kelopak hujan itu sudah berhenti berguguran, kini mereka sudah tertumpuk-tumpuk di tanah berserakan. Aku tak mau mengumpulkannya bila sudah berhamburan di tanah, tampak tidak lagi indah bagai hati yang sudah kalah menyerah. Sudahlah, aku tak jadi mengumpulkannya, ini karena kebiasaan bodohku berpikir lama-lama. Tapi sepertinya malam nanti aku tak jadi mempunyai kesibukan lain selain sibuk memikirkanmu lagi. Baguslah, hanya malam nanti, setidaknya sore ini aku tidak memikirkanmu.

Jumat, 15 Oktober 2010

Cintaku, Segumpal Benang Kusut

Andai merasa itu seperti sebuah benang. Cintaku, segumpal benang kusut. Maukah kau untai agar dapat kita pakai merajut?!

Terserah padamu mau dirajut menjadi apa. Sekedar tirai jendela, selimut ungu, baju bayi, apapun itu untuk dipakai di rumah kita nanti. Maukah kau untai dan kita mulai merajut?!

Agar cintaku tak terus hanya menjadi segumpal benang kusut tanpa maksud. Akan ada bagian yang sulit untuk kau untai, mungkin karena masa lalu membuatnya berbelit terlalu rumit. Kita potong saja, jangan dipersulit.

Kita potong saja bagian yang tak kau suka, yang tak akan dapat kita pakai untuk merajutnya. Terserah padamu, mau dirajut menjadi apa.

Lalu agar rajutan kita nanti lebih berwarna, pakai juga benang cinta warna lain, milikmu. Maukah?! Agar rajutan kita tampak lebih indah.

Mungkin pertama kita merajut sebuah tirai jendela untuk dipakai di rumah kita. Agar tidak semua orang yang lewat dapat melihat ke dalamnya.

Lalu setelah itu kita merajut sebuah selimut ungu, sepertinya akan lebih banyak memakai benangku yang sekarang kusut. Apakah kau masih suka warna itu?!

Nanti selimut itu dapat menggantikanku bila mungkin suatu saat aku terpaksa tak dapat ada di sisimu untuk bisa memelukmu. Kau sudah tau aku selalu mau itu.

Lalu setelah itu kita merajut baju bayi, dengan benangku, dengan benangmu, dapat kau bayangkan bagaimana nanti warnanya?! Buat saja yang sederhana.

Kemudian suatu saat nanti kita tidak hanya akan memiliki dua warna benang cinta, kuharap akan ada warna lainnya. Dari benang anakmu, benang anakku, benang anak kita.

Dapat kau bayangkan?! Kita dapat merajut banyak hal lain dengan banyak warna lainnya. Banyak yang nanti dapat kita rajut bersama.

Tapi kini, cintaku masih segumpal benang kusut. Maukah kau untai agar dapat kita pakai merajut?!
Atau kau akan tetap membiarkannya hingga berlumut?!

Minggu, 10 Oktober 2010

Mungkin hanya lagu

Michael Buble – Kissing a fool

You are far
When I could have been your star
You listened to people
Who scared you to death
And from my heart

Strange that you were strong enough
To even make a start
But you'll never find
Peace of mind
Till you listen to your heart


People
You can never change the way they feel
Better let them do just what they will
For they will
If you let them
Steal your heart from you

People
Will always make a lover feel a fool
But you knew I loved you
We could have shown them all
We should have seen love through

Fooled me with the tears in your eyes
Covered me with kisses and lies
So bye
But please don't take my heart


You are far
I'm never gonna be your star
I'll pick up the pieces
And mend my heart
Strange that I was wrong enough
To think you'd love me too

You must have been kissing a fool
I said you must have been kissing a fool


But remember this
Every other kiss
That you'll ever give
Long as we both live
When you need the hand of another man
One you really can surrender with
I will wait for you
Like I always do
There's something there
That can't compare with any other


You are far
When I could have been your star
You listened to people
Who scared you to death
And from my heart
Strange that I was wrong enough
To think you'd love me too
You must have been kissing a fool
You must have been kissing a fool

You
must have been kissing a fool


*****

Apa kabar, kekasih?! Kuharap saat ini pun kau belum buta warna, karena bila kau sudah buta warna, kau tak akan mengerti mengapa aku menulis semua ini.
Sebenarnya maksudku sederhana, aku hanya ingin kau tau apa yang kurasakan tiap kali tak bosan-bosan aku mendengar lagu di atas. Mungkin dengan kata dan warna, walau tanpa suara, tanpa tatap muka, kau akan mengerti juga.


Bila kau melihat warna ini, aku sedang mengenang saat-saat terakhir kita bersama dulu, saat kita mulai terpisah sesuatu yang kau sebut jarak. Saat aku terpaksa tak bisa selalu ada di sisimu seperti biasanya, saat aku mulai tak tau apa yang kau pikirkan, kau rasakan, karena semuanya mulai kau simpan sendiri tak kau sampaikan. Saat kau mulai berpikir sendiri tanpa mengajakku seperti biasanya, atau entah apa mungkin kau sudah mengajak berpikir seseorang yang lainnya. Saat kau di kotamu, dan aku di kotaku. Saat kita berada di tempat berbeda, entah apakah saat itu harapan kita masih di tempat yang sama.


Lalu dengan warna ini aku mulai tau maksud diammu yang tiba-tiba saat itu, saat kau mulai membisu. Pernah aku merasa heran dengan sikapmu, tapi dengan warna ini aku memaklumi benar akan pilihanmu meninggalkanku. Walau aku tak begitu suka dengan sikap dan caramu. Tapi ini, warna pemakluman. Tidakkah warna ini bagimu menenangkan?!


Kuharap dengan warna ini kau juga dapat memaklumi sikapku. Aku hanya manusia, walau hanya satu dalam seribu, namun juga aku pun satu dari 999. Aku bagian mereka, namun bukan mereka. Aku satu yang mungkin memiliki beberapa hal yang berbeda, karena itu aku tak mau menghapusnya dengan harus mengikuti bagaimana yang 999 lainnya. Dengan warna ini aku berharap, agar kau bisa melakukan hal yang sama denganku. Tidak bisakah kau berpandangan sepertiku?!

Aku sedang tersenyum dan sedikit tertawa saat kau melihat warna ini. Bukan senyum senang, bukan senyum nyaman, bukan juga senyum bahagia seperti saat tiap kali dulu kita berjumpa dan kau memakai baju berwarna ini yang bagiku cukup mengganggu mata. Tapi bagiku keberadaanmu selalu dapat mengalahkan semua hal yang tak ku suka, bahkan terkadang aku tak begitu perduli dengan warna apapun asalkan kau ada. Namun kali ini dengan warna ini aku tersenyum, aku tertawa, senyum miris, tawa yang mengiris-iris. Kini warna ini sangat mengganggu mata, sejak kau mungkin memang tak bisa ada.


Aku bingung harus merasa apa dengan warna ini, entah bagaimana aku harus menjelaskannya. Tapi saat kau melihat warna ini, sambil bernyanyi bibirku tersenyum, lalu tertawa sambil menangis, pipiku dijatuhi air mata walau memang tak seberapa. Entah bagaimana rasanya. Entah bagaimana menjelaskannya. Ini warna tersulit yang ingin kujelaskan padamu, kucoba mencari cara menjelaskan yang lebih baik tapi tak pernah bisa, jadi dengan warna ini aku menyerah, tapi aku tak pernah bisa menyerah, walau aku tau aku tak mampu. Jadi entah aku harus merasa apa. Entah aku perlu bicara apa. Cukup begini saja aku menjelaskannya.


Tidakkah ini terlihat seperti warna yang putus asa?! Bagai warna yang enggan ada, bagai sebuah tulisan di sebuah dinding yang mulai dan semakin tersamar terhapus angin badai dan waktu. Kupikir walau tanpa kata, warna ini sendiri sudah dapat menjelaskan maksudnya.


Maaf, dengan warna ini sebenarnya aku agak emosi. Bukan marah, hanya saja terasa ada tekanan yang menghentak-hentak di dada, tekanan yang besar sekali, aku tak dapat menahannya. Seakan ada sebuah tekad yang dengan sangat ingin kujelaskan padamu, yang kuharap dapat membuatmu percaya padaku seperti rasa percayaku padamu dulu yang tanpa cela, hingga kau yakin bahwa aku berbeda dengan banyak mereka yang mungkin pernah juga mencintaimu sebelumnya. Hingga kau mungkin suatu saat nanti dapat menerima bahwa dibandingkan dengan mereka semua aku memang tidak sama. Hingga kuharap kau mau kembali berpikir untuk kita kembali bersama. Karena aku berbeda!!
Aku tau, kau pernah katakan tak suka memakai baju dengan warna ini, mungkin kau memang tak suka warna ini. Silahkan, bila kau mau berpura-pura buta warna. Tapi aku ingin kau tau, juga berbeda dengan mereka yang lainnya, tak akan pernah ada kata pernah bagiku untukmu, apapun yang terjadi, bila juga kau tak akan pernah mau mengerti.


Sudah kujelaskan setiap warnanya. Mungkin kau akan tau apa yang kurasakan tiap kali tak bosan-bosan aku mendengar lagu ini, itupun bila memang kau mau tau. Di akhir lagu aku merasa banyak warna bersatu, entah bagaimana rasanya, mungkin seperti gila. Entahlah, aku belum pernah menjadi gila, aku selalu sadar dengan yang kulakukan. Kau bayangkan sendiri saja bagaimana rasanya, kau sudah tau arti setiap warnanya.

Baiklah, bila kau sempat, ingat aku suatu saat. Jangan lupa, kau pernah sangat dekat dengan orang bodoh, aku. Aku bahkan masih saja mencintaimu saat kau mencintai seseorang yang bukan aku. Lebih bodoh lagi, sepertinya aku lebih mencintaimu dibanding kau mencintai orang itu. Ah iya, aku memang senang menjadi bodoh untukmu, sejak dulu.


Hey, dengarkan lagunya, :')