aku bertanya pada hujan, maukah kau jatuh berbalik arah dan kembali ke awan?!
ia menjawab, “aku kembali ke awan, namun dalam bentuk yang lain.”
aku kembali bertanya pada hujan, maukah kau jatuh berbalik arah dan kembali ke awan sebagai hujan?!
ia menjawab, “bagaimana menurutmu? apa yang sebenarnya kau mau?”
aku tak henti bertanya pada hujan, kapan kau akan jatuh berbalik arah dan kembali ke awan sebagai hujan?!
ia tak menjawab. ia diam. ia tak menjawab.
aku terus bertanya pada hujan, bagaimana kubuat kau jatuh berbalik arah dan kembali ke awan sebagai hujan?!
tiba-tiba mataku berubah menjadi awan, lalu turunlah hujan.
aku bertanya pada awan, tak akankah kau menangis kali ini?!
kenangan adalah lubang di sisi jalan,
aku, yang entah selalu melewati jalan yang sama,
lalu terjatuh..
lalu terjatuh..
lalu terjatuh..
kembali terjatuh..
sebut aku keledai
aku mengaduh..
aku mengaduh..
aku mengaduh..
duh...
Mengapa aku berulangkali jatuh padamu, bisa kau beritau?!
Akan kata, sejak pertamakali aku bicara padanya yang entah sudah seberapa banyak tau ia. Entah mendengarkah ia, entah mampukah kata merasa?!
Entah apa lagi yang kumau darinya selain selalu mampu kulampiaskan semua rasa padanya. Atau aku hanya mengada-ada rasa yang tak pernah ada, untuk apa, atau bagaimana bisa?!
Apakah aku seorang yang terperangkap dalam cinta atau apa,
ataukah aku seorang yang hanya hidup meratapi sesuatu yang tak kudapati?!
kasihan sekali.
Ataukah aku, seorang yang merasa dengan cara berbeda.
Atau aku sedang berada di tempat yang salah,
karena di dunia ini seringkali berbeda adalah sesuatu yang salah.
Sebut aku gila, kukatakan, mungkin ini cinta.
Kata adalah telinga, bila tak ingin mendengar,
mengapa tak tutup kata saja?!
Mengapa aku selalu jatuh padamu, bisa kau beritau?!
Aku tak ingat utuh apa saja yang pernah kutuliskan dulu pada saat-saat pertama kau pergi meninggalkan aku, menanggalkan kita. Tentangku, tentang rasa, tentang utuhku yang hanya kuceritakan pada kata. Aku tak pernah lupa bagaimana rasanya.
Hari demi hari yang berlarian lemah, waktu yang berjalan menyeret langkah seakan ingin menyerah, perlahan membuatku tersadar banyak hal yang sudah lama terlupakan. Akan diriku, yang tak lagi terlalu kukenal.
Takut kehilanganmu, mungkin adalah alasan akan banyak perubahanku. Saat aku hanya ingin berusaha menjadi sesuatu seperti yang kupikir kau mau, dengan keterbatasanku, dengan ketidakmampuanku yang seringkali kujatuhsalahkan pada aku. Dan mengapa aku harus takut kehilangan sesuatu yang bukan milikku, bisa kau beritau?!
Perlahan kucerminkan diriku pada aku yang kukumpulkan dari pikiran yang terserak atas kenangan dulu, sebelum kita pernah merasa satu dan sesekali saling cemburu.
Bukan. Aku bukan aku. Aku hanya seseorang yang takut kehilangan sesuatu. Aku hanya seseorang yang berusaha keras mempertahankan sesuatu agar tak terlepas dari tanganku. Aku, seseorang yang apapun mau kulakukan agar tak lagi merasa kehilangan. Aku, seseorang yang melepaskan banyak kehilangan, demi kehilangan yang lain.
Bukan. Aku, bukanlah aku. Aku hanya seseorang yang takut kehilangan sesuatu. Sesuatu yang bukan milikku.
Merasa dungu, satu-satunya rasa yang memenuhiku dengan semua sikapku itu. Namun cinta, tak pernah kupertanyakan atau ragu akan keberadaannya. Bila akhirnya aku harus menjadi lebih dungu dengan terus mencintaimu, biar saja seperti itu. Aku hanya akan menyesal bila aku tak mengikuti kata hatiku. Bila aku harus menyesal karena mencintaimu, maaf, aku hanya akan berikan penyesalanku untukmu. Seperti mungkin kau menyesal tak lagi bisa mencintaiku.
Aku masih cukup ingat masa itu, saat kutemui aku bukanlah diriku yang aku tau. Kini, tak akan ada yang berubah dari cinta, hanya saja, aku akan mencintaimu sebagai diriku apa adanya. Bila itu tak pernah menjadi sesuatu yang kau mau, ikuti saja kata hatimu. Namun biarkan aku dungu, biarkan aku mencintaimu
Aku masih cukup ingat, saat-saat pertama aku merasa kehilanganmu yang bahkan aku tau kau tak pernah sedetikpun menjadi milikku, atau sesiapapun itu. Mengapa aku masih harus merasa kehilanganmu, bisa kau beritau?!
Kepergianmu, entah mengapa, membuatku merasakan kehilangan banyak hal dalam bagian hidupku, yang itu bukan semata dirimu. Pernah aku kehilangan tawa, lama aku kehilangan senyuman. Seakan bahkan hal terlucu di duniapun tak akan mampu membuatku tertawa, senyuman seorang bayi yang tanpa kepalsuan pun tak mampu membuatku tersenyum. Entah, kau kah itu alasan setiap tawa dan senyumku.
Kepergianmu, entah mengapa, membuatku merasakan kehilangan banyak hal dalam bagian hidupku, yang itu bukan semata dirimu. Pernah aku kehilangan waktu, lama aku kehilangan hari. Seakan waktu yang terang-terangan berlalu di hadapanku tak kupeduli, hari-hari yang berganti tak membuatku sekedar sadar akan nama hari. Semua berjalan, namun berhenti. Tak ada malam, tak ada siang, tak ada sore, tak ada pagi.
Kepergianmu, entah mengapa, membuatku merasakan kehilangan banyak hal dalam bagian hidupku, yang itu bukan semata dirimu. Pernah aku kehilangan asa, lama aku kehilangan rasa. Bagai tiba-tiba tersesat di tengah sebuah padang pasir sekarat tanpa mataair ~atau airmata, tanpa matahari yang mampu menunjukkan harus melangkah ke mana ~atau matahati yang memerintahkan harus merasa apa. Berdiam, atau terus berjalan, sama saja.
Kepergianmu, entah mengapa, membuatku merasakan kehilangan banyak hal dalam bagian hidupku, yang itu bukan semata dirimu. Banyak bagian diriku yang mungkin terlanjur melekat padamu dan terbawa pergi olehmu, tidakkah kau tau?!
Kini kumiliki sisa atau entah apa yang melekat dalam aku, yang memang diberikan padaku ~atau dengan angkuh kuanggap milikku, atau sekedar kubuat-buat seakan ada dalam aku. Aku tak tau, aku tak berharap tau.
Aku masih cukup ingat, segala pedih duka, sedih luka karena kehilangan dirimu yang bahkan aku tau kau tak akan pernah sedetikpun menjadi milikku, atau sesiapapun itu. Namun mengapa aku masih tetap merasa kehilanganmu, bisa kau beritau?!