Jumat, 11 Maret 2011

Tangis Hujan Pertama

Kau tak akan cukup tau, pada tanggal hari ini pernah aku menjadi pipi hujan, saat ia pertama kalinya berurai airmata menangis pedih berduka.

Kau tak akan cukup tau hari itu hujan begitu berduka, dalam lebat tangisnya ia hanya mendekap aku saja. Apalah aku selain penghibur luka.

Tangisnya sebabkan jalanan semakin panjang, langkah-langkah yang kutapaki hanya membuat perjalanan semakin memanjang.

Tangisnya mengatakan ia tak akan berhenti berduka, seakan ia sedang berusaha keras meluruhkan asa atau apa di langit sana.

Tangisnya menenggelamkan aku dalam lukanya yang teramat; hatiku disayat, bahagiaku dilumat, nafasku dijerat, hariku sekarat.

Entah beban apa yang hujan titipkan, atau berikan. Seok-seok langkah yang semakin melemah tak kuperhatikan apakah sudah sebegitu parah.

Kau tak akan cukup tau, pada tanggal hari ini pernah hujan menangis begitu sedu, dimakilampiaskannya segala sendu hanya pada aku.

Tak henti ia menjerit, tak sedikitpun aku mengernyit. Tak henti ia meratap, aku sudah kehilangan keinginan menatap.

Dingin tangis hujan membakar mataku, kupeluk dingin erat saat tangis hujan menghangat di kedua pipiku lamat-lamat.

Kau tak akan cukup tau, tanggal hari ini adalah kali pertama hujan menangis pilu di mataku. Menjadi sembilu yang menggores luka di hatiku.


Sebelumnya aku tak pernah melihat butiran hujan sebagai sebuah tangisan, mereka adalah nada-nada kecil penyusun indah sebuah nyanyian.

Namun kau pergi, aku kehilangan telinga. Bagaimana aku kembali mendengar nyanyian hujan, bila kini yang aku punya hanyalah mata, kekasih?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar